Selasa, 02 Desember 2008

Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam

PENGALAMAN paling berharga dari proses pemilu 5 April dan 5 Juli 2004 lalu adalah pemahaman akan realitas politik Indonesia, betapa kuatnya sikap pragmatisme para petinggi parpol, tidak terkecuali parpol yang mengusung bendera, simbol, dan idiom-idiom Islam. Pragmatisme ini ditandai kultur dalam pembuatan keputusan politik yang selalu dilandasi oleh pertimbangan posisi atau konsesi kekuasaan yang akan dicapai. Lebih dari itu malah hitung-hitungan materi barupa uang atau barang-barang. Hal ini terjadi, baik pada tindakan individu maupun institusi.
Penilaian secara institusi di-suarakan hampir oleh semua tim sukses capres dan cawapres, yang menyatakan bahwa mesin parpol saat pemilu capres-cawapres 5 Juli 2004 tidak jalan. Sepertinya ada sikap institusi yang kurang peduli terhadap capresnya. Hakikatnya hal ini lebih disebabkan para pe-tinggi partai yang sudah merasa aman berhasil menduduki kursi legislatif. Tim sukses capres-cawapres rupanya mencium suasana jiwa caleg terpilih ini. Mereka yang sudah lolos pemilu 5 April tidak peduli terhadap pemilu capres-cawapres lantaran calon terpilih legislatif merasa nasibnya sudah aman untuk duduk di kursi DPR/DPRD. Pada tingkat individu banyak disuarakan oleh para kandidat legislatif seolah mereka berjuang sendirian saja untuk mengumpulkan suara dalam rangka meraih kursi legislatif.
Mereka beranggapan bahwa penentuan nomor urut lebih ditentukan kelihaian lobi dan jumlah duit daripada dedikasi aktivis terhadap parpolnya. Karena itu saat terpilih, mereka merasa bahwa kemenangannya adalah merupakan jerih payahnya sendiri dalam mengumpulkan suara pemilih. Dalam hal ini, caleg yang tidak terpilih dianggap tim sukses masa bodoh terhadap kerja tim sukses. Diasumsikan, mereka merasa habis arang besi binasa, dana dan tenaga sudah dikuras untuk memenangkan kursi legislatif, tapi yang tersisa adalah capek dan utang bekas biaya kampanye. Sungguh tidak sederhana memanaj partai politik, walaupun kuncinya sama-sama mereka ketahui dan pahami yakni keterbukaan atau transparansi dalam mengelola partai.
Pragmatisme yang sifatnya personal sebagaimana dikemukakan di atas, juga merasuk pada parpol sebagai institusi. Kekuasaan sebagai target yang harus dicapai oleh parpol dijadikan sasaran utama tanpa peduli terhadap ideologi, norma dan malah etika. Kisah tentang keputusan musyawarah parpol yang berasaskan Islam meng- giring ketua parpolnya untuk jadi "penunggu lamaran", dan taat asas untuk terus menerus menunggu lamaran dicawapreskan, menunjukkan betapa harga diri pimpinan parpol (dan kemudian membawa jatuh martabat parpolnya) sudah demikian rendah di hadapan pemain politik.
Bayangkan sejak menunggu lamaran dari capres sasaran pertama, ditunggu dan ditunggu tapi tidak melamar saja, kemudian menunggu lamaran capres sasaran kedua, ditunggu tapi tidak ada juga, dan kemudian menunggu lagi lamaran dari capres sasaran ketiga, namun akhirnya tidak melamar juga. Dan kemudian beringsut maju untuk menjadi capres, dan hasilnya jeblok sekali.
Pragmatisme juga terdapat dalam mengemukakan ajaran agama. Hal ini terajdi berkenaan dengan keabsahan perempuan jadi presiden. Item ini dipertentangkan secara terbuka di hadapan umat dari suatu komunitas kultur keberagamaan yang sama. Hal ini diperparah dengan silat lidah untuk mendukung seseorang dan menghujat yang lainnya atas nama organisasi keagamaan terhadap person-person tertentu yang berasal dari komunitas yang sama juga.
Apa arti semuanya ini? Sementara saya berpendapat bahwa hal ini semua menunjukkan bahwa ternyata banyak terminologi agama dipakai hanya untuk tujuan-tujuan mencapai kekuasaan semata. Pada sisi lain, lantaran ternyata membawa bendera agama tersebut berujung pada kekalahan, maka sebaiknya dipikirkan, masih relevankah membawa bendera agama ke dalam kegiatan politik? Bila melihat hasilnya, sepertinya umat ini sudah tidak tertarik lagi oleh partai yang membawa bendera agama.
Namun jangan disimpulkan bahwa umat tidak mau berpolitik dengan jiwa keagamaan. Saya menduga umat justru sangat mengharapkan pemimpin politik yang agamis. Namun sebagaimana dikemukakan gambarannya di atas, umat agak kurang percaya terhadap para pemimpin politiknya. Berdasarkan realitas kepercayaan umat terhadap para pemimpin politiknya, saya khawatir, jangan-jangan teriakan ingin menegakkan syariat Islam, hanyalah merupakan "merek dagang" supaya lapisan masyarakat tertentu membeli atau tetap terikat pada merek jualan politik tersebut.
Artinya, parpol tersebut bukan sungguh-sungguh ingin memperjuangkan syariat. Sebab kenyataannya kalau dahulu atas nama syariat Islam mengharamkan perempuan jadi presiden, namun saat ada kesempatan jadi wakil presiden untuk bersanding dengan yang diharamkan tersebut, dia enjoy saja.
Bendera Islam
Dalam suasana parpol (termasuk ke dalamnya partai yang berasaskan Islam dan dengan lantang menyuarakan tegaknya syariat Islam) begitu tergila-gila rebutan kekuasaan, saya melihat perlunya reformulasi posisi agama dalam dunia kepartaian. Sepanjang belum ada kesepakatan para ulama, para ustaz, dan para kiai tentang hal-hal yang fundamental dalam kegiatan politik, apa tidak sebaiknya parpol-parpol tersebut menghentikan menjadikan Islam sebagai merk politik? Ungkapan "isyhaduu biannaa muslimun" (Q.S. 3:64) tidak harus diterjemahkan formalisasi asas partai dengan term Islam, tapi diterjemahkan sebagai tauhidullah yakni ideologi, prinsip, konsep, serta perilaku aktivis partai berjiwa Islam. Artinya tanpa label Islam pun manakala ideologi sampai perilakunya berwarna Islam, hal itu sudah memenuhi ketentuan ayat tersebut (baca phrase sebelumnya).
Masih relevankah Islam dijadikan merek dagang bagi parpol-parpol untuk meraih keuntungan dalam bentuk kekuasaan? Mana yang lebih baik bermerek Islam, tapi tidak punya fatsoen Islam atau tidak memakai merek Islam, tapi berideologi dan berperilaku Islami? Oke, yang ideal adalah bermerek Islam dan berjiwa Islam. Namun adakah itu? Jawabannya ada, dan itu adalah PKS? Betulkah? Tatkala Hidayat Nurwahid Presiden PKS selalu menyuarakan kepedulian terhadap masyarakat miskin, bangsa tertindas, serta keharusan memberantas KKN, dan malah dengan lantang tidak akan berpihak kepada PDIP dengan berbagai argumen sosial politik yang berjubah keagamaan, umat penuh harap inilah partai harapan umat masa depan. Beginilah seharusnya partai berasas Islam, demikian sanjungan umat.
Namun tatkala partai berasas Islam ini harus dihadapkan kepada pilihan Amin Rais atau Wiranto dalam pilpres putaran pertama, umat pun bingung menanti putusan PKS. Keputusan dijatuhkan saat injury time, saat air sungai tenaga umat ini sudah dialirkan ke berbagai arah oleh pemain-pemain tingkat bawah (atau juga malah di tingkat atas?). Menurut Bahtiar Effendi, keterbelahan itu disebabkan "semua keputusan yang dihasilkan punya hitung-hitungan sendiri, baik secara kultural maupun politik". Jadi yang dipertimbangkan bukan sejarah dan catatan keberhasilan perjuangan ideologi keagamaan, atau upaya membela umat yang selama ini justru dilakukannya, tapi hitung-hitungan kekuasaan juga, dan itu terjadi pada saat-saat yang sangat kritis.
Pada sisi lain, kita pun dapat melihat dengan mata telanjang tontonan pentas politik Indonesia ini, bahwa yang menjadi pertimbangan dasar bersatu dan bercerainya kekuatan-kekuatan politik, koalisi atau beroposisinya suatu kekuatan partai ternyata selain pembagian kekuasaan, ada yang lebih parah lagi yakni materi, baik dalam bentuk uang maupun barang. Mudah-mudahan bukan suu' dzan, jangan-jangan perubahan sikap PKS yang tadinya mau beroposisi kemudian berkoalisi dengan pemerintahan yang akan datang, juga didasari hitung-hitungan kursi itu.
Subjektivikasi-objektivikasi
Bila dimungkinkan bendera Islam dilepas dari formalitas merk partai, bagaimana mungkin orang Islam mau memperjuangkan politik Islam? Sesungguhnya pertanyaan demikian tidak perlu ada manakala para pejuang partai tersebut sudah berislam dengan baik. Dengan keislaman yang baik, maka apa pun yang direnungkan, dipikirkan, dirancangkan, diperbuat, dan dijadikan tolok ukur rujukan, pasti ajaran Islam. Pada dataran konsep, kebenaran ajaran Islam itu bersifat perspektif (menjangkau masa depan sampai negeri akhirat), universal, dan inklusif. Karena itu dapat memberikan rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan linnasi ajma'iin).
Sementara pada dataran praksis, ukuran utamanya anfa'uhum linnaas dengan instrumennya akal manusia yang produknya berupa iptek. Dengan demikian sifatnya situasional dan kondisional. Walau demikian, lantaran sifat konsepnya universal dan inklusif, karakter situasional dan kondisional tersebut tidak akan jatuh pada pragmatisme naif yang hanya mengejar keuntungan kini di sini saja.
Metode yang cukup efisien, tapi sangat efektif bagi artikulasi keislaman yang inklusif ini menurut hemat saya adalah melalui apa yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan subjektivikasi dan objektivikasi. Agama sebaiknya disubjektivikasi untuk kemudian diobjektivikasi dalam dataran sosial, ketimbang dijadikan merk dagang politik yang manakala tidak dibarengi konsistensi para pemimpinnya, ujung-ujungnya nama agama itu ternodai oleh perilaku para pimpinan parpol berasas agama tersebut. Dengan subjektivikasi akan diperoleh keislaman yang substantif, sementara dengan objektivikasi akan diperoleh keserasian dan kecocokan dengan tempat di mana kaum Muslimin berada. Saya melihat metode ini akan meng-eliminasi penghamburan tenaga berkenaan dengan perjuangan formalisasi. Pernyataan ini tidak berarti bahwa formalitas tidak penting. Formalitas tetap penting, namun bukan merupakan tujuan utama perjuangan partai. Tujuan perjuangan partai adalah mengartikulasikan secara praksis substansi ajaran Islam, yang manakala hal itu tercapai akan dengan sendirinya memiliki langkah lanjutan (nurturant effect) terhadap formalisasi.

Tidak ada komentar: