Selasa, 02 Desember 2008

Deklarasi Pakta Integritas di KPU: Mencegah Korupsi Logistik Pemilu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertekad mencegah korupsi dalam pengadaan logistik Pemilu. Tekad ini diwujudkan dalam bentuk Deklarasi penandatanganan Pakta Integritas dalam pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan Pesta Demokrasi pada tahun 2009 mendatang. Langkah ini sekaligus merupakan upaya reformasi sistem pengadaan dalam logistik Pemilu, dimana belanja barang dan jasa di KPU akan dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Kebocoran anggaran Pemilu 2009 sangat mungkin terjadi. Apalagi dalam Pemilu kali ini, KPU akan mengelola dana yang cukup besar. Total pagu anggaran dana Pemilu sebesar Rp 6,667 triliun, setengahnya lebih mungkin akan digunakan untuk pengadaan logistik Pemilu. Untuk pengadaan sebanyak 900 juta lembar surat suara saja anggarannya mencapai Rp. 1 triliun lebih. Besarnya anggaran Pemilu yang dikelola KPU ini tentu sangat rawan terhadap tindak korupsi jika proses tender pengadaan logistik Pemilu itu dilakukan secara serampangan, tanpa pengawasan dari pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil.

Sebenarnya masalah pengadaan untuk kepentingan proyek pemerintah telah diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 dan revisinya. Meski masih moderat, aturan ini cukup realistis untuk diterapkan serta bisa menghindari kebocoran anggaran. Masalahnya proses tender yang efektif dapat mencegah praktek KKN tidak diatur secara detail. Selama ini, tanda tangan Pakta Integritas bagi penyedia barang dan jasa yang disyaratkan terkesan sekedar formalitas semata sehingga dalam prakteknya masih saja terjadi penyimpangan. Hampir dalam setiap tahap proses tender pengadaan masih terdapat titik rawan terjadinya korupsi.

Potensi terjadinya korupsi dan penyelewengan dalam pengadaan barang dan jasa di KPU masih sangat besar. Hal itu sangat mungkin terjadi jika lembaga penyelenggara pemilu ini tidak melakukan reformasi dalam sistem pengadaannya. Waktu pelaksanaan pemilu yang mepet dan banyaknya kepentingan di dalam proses pengadaan itu, membuat tender logistik pemilu kemungkinan dilakukan serampangan, dengan tidak mengindahkan ketentuan dan peraturan yang sudah ada.

Belajar dari kasus korupsi Pemilu 2004, semestinya tidak bisa semata-mata menjadikan kondisi darurat sebagai alasan penunjukan langsung ataupun membengkaknnya anggaran pemilu. Sebab korupsi yang terjadi dalam Pemilu sebelumnya disebabkan kesalahan komisi ini dalam menjalankan mekanisme tender. Secara konseptual, idealnya kasus semacam itu tidak perlu terjadi jika mekanismenya dijalankan menurut aturan yang ada dan konsisten.

Bagaimanapun, kegiatan pengadaan merupakan factor kunci kesuksesan manajemen logistik KPU, karena akan mempengaruhi semua tahapan Pemilu yang mengikutinya. Terdapat beberapa kegiatan kritis dalam proses logistik yaitu pengadaan, penyimpanan, penanganan material, dan distribusi. Kegiatan pengadaan merupakan kegiatan awal yang esensial, yang bertanggung jawab memperoleh material dan jasa dengan memenuhi kriteria: kuantitas dan kualitas, sesuai spesifikasi, dikirim tepat waktu, dan efisiensi penggunaan biaya.

Sejauh ini, KPU sudah mencoba mengatasi kemungkinan terburuk proses pengadaan melalui e-procurement atau proses pengadaan secara on line via internet yang membuka informasi lelang, dan persyaratannya. Tapi dalam kenyatannya, itu belumlah cukup untuk membentengi terjadinya berbagai kebocoran dalam proses pengadaan. Apalagi persentase pengguna akses internet di Indonesia masih sangat kecil. Prinsip pengadaan yang terbebas dari korupsi, menurut Jeremy Pope (2003) harus mencakup beberapa hal, yakni harus hemat, adil dan tidak memihak, transparans, efisien dan pentingnya pertang-gunggugatan.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak demi menghindari KKN dalam pengadaan logistik pemilu melalui kesepakatan yang dinamakan Pakta Integritas-- sebuah alat pencegahan korupsi yang diperkenalkan oleh Transparency International. Filosofi dasarnya adalah membuat transaksi bisnis di antara kontraktor menjadi lebih fair, dan dapat mengurangi kebocoran. Pakta Integritas disini harus memenuhi sembilan prinsip yang melandasi kesepakatan itu. Selain komitmen pemerintah dan pengusaha, prinsip lainnya yang utama adalah terbukanya akses informasi publik dan dibentuknya Lembaga Pemantau Independen.

Dengan Deklarasi penerapan Pakta Integritas ini, TI Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung penuh upaya KPU untuk menerapkan Pakta Integritas untuk mencegah terjadinya korupsi dalam tender logistik Pemilu.
2. Mengajak pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pengadaan logistk Pemilu, yakni para pengusaha atau suplier untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pakta Integritas dan Keppres 80 / 2003. Serta tidak membuka peluang dan atau memaksa dibukanya untuk terjadinya KKN dengan para pihak yang terkait dengan proses pengadaan.
3. Mengajak organisasi masyarakat sipil untuk turut serta mengawasi proses pengadaan logistik Pemilu secara jujur, bertanggungjawab dan mengedepankan akurasi data informasi.



Jakarta, 21 Oktober 2008
Transparency International Indonesia
MENGETAHUI



Rizal Malik Todung Mulya Lubis
Sekretaris Jenderal Ketua Dewan Pengurus

TEKNIS PELAKSANAAN PEMUNGUTAN SUARA DI TPS

Jakarta, kpu.go.id Pada Pemilihan Umum Legislatif 2009, terdapat perbedaan dengan Pemilu Legislatif sebelumnya dalam hal pemberian suara yang dilakukan oleh Pemilih yaitu dari sebelumnya mencoblos surat suara menjadi memberi tanda satu kali pada surat suara.

Untuk memenuhi Pasal 153 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota Tahun 2009.

Dalam Pasal 40 dalam peraturan KPU tersebut dinyatakan sebagai berikut:
(1) Suara pada surat suara Pemilu anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, dinyatakan sah apabila :
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
b. bentuk pemberian tanda adalah tanda centang (√) atau sebutan lainnya;
c. pemberian tanda sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan hanya satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
d. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat di dalam kolom nama partai politik, walaupun ujung garis tanda centang (√) melewati garis kolom nama partai politik; atau
e. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat pada kolom nomor urut calon atau kolom nama calon, tetapi bagian akhir garis tanda centang (√) atau sebutan lainnya melampaui kolom nomor urut calon atau kolom nama calon.

(2) Suara pada surat suara Pemilu anggota DPD, dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. bentuk pemberian tanda adalah tanda centang (√) atau sebutan lainnya;
c. pemberian tanda sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan hanya satu kali pada kolom foto salah satu calon anggota DPD;
d. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat di dalam kolom foto salah satu calon Anggota DPD, walaupun ujung garis tanda centang (√) atau sebutan lain melewati garis kolom foto salah satu Anggota DPD.

Dana Minim, Partai Politik Sosialisasi Langsung

Sejumlah parpol dan politisi yang bergelimang fulus, sempat membombardir masyarakat lewat iklan-iklan politiknya. Sedangkan parpol lainnya lebih memilih sosialisasi langsung.
Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) termasuk parpol yang lebih memilih langsung mendekati masyarakat, face to face. "Masing-masing parpol memiliki trik masing-masing, tentu itu harus disesuaikan kondisi masing-masing parpol," kata Sekjen Pakar Pangan Jackson Kumaat, Selasa (18/11).
Jackson menyadari iklan politik baik lewat media elektronik maupun cetak memang efektif. Namun itu bukan satu-satunya cara. Parpol yang memiliki jaringan langsung di akar rumput juga tak kalah efektif.
"Justru dengan bertatap muka langsung dengan masyarakat, kita akan benar-benar mengakar," cetusnya.
Beda dengan parpol yang jorjoran mengiklankan diri, akan terpuruk begitu sumber dananya macet. Krisis finansial, tuturnya, terbukti membuat banyak parpol kehabisan dana. "Kalau sudah biasa hanya mengiklankan diri, mereka akan kesulitan turun ke lapangan karena memang butuh kerja keras dan jaringan yang kuat," tuturnya.
Jackson mengaku bersyukur sejak awal partainya menempuh cara-cara terjun langsung ke akar rumput sehingga metode kampanyenya tak banyak mengalami perubahan.

Rizal Mallarangeng Mundur Jadi Calon Presiden

Calon presiden independen Rizal Mallarangeng akhirnya mundur dengan legowo untuk maju menuju kursi RI 1 dalam pilpres 2009 mendatang. Pernyataan mundur ini diungkapkan Rizal usai acara peluncuran bukunya yang berjudul 'Dari Langit' di Goethehaus Jakarta, Rabu (19/11).
Buku ini adalah kumpulan artikel yang ditulis oleh Rizal selama sekitar 18 tahun, sejak dirinya masih berstatus mahasiswa. Celi, panggilan akrab Rizal Malarangeng, mengatakan dirinya dan tim suksesnya telah berupaya selama tiga setengah bulan untuk melakukan sosialisasi dan mengevaluasinya. Namun, hasil yang diperoleh belum mencapai target yang diharapkan untuk terus maju.
"Setelah tiga bulan, popularitas terus meningkat tapi elektibilitas yang saya usahakan masih jauh untuk mencapai posisi yang serius. Malam ini saya sudah mengatakan apa yang saya rintis sebagai proyek politik mulai besok dan Sekret RM9 tidak akan beroperasi untuk kampanye menuju pemilu 2009," ujar Rizal.
Menurut Rizal, selama tiga setengah bulan tersebut, timnya mengatakan hanya mampu mencapai angka popularitas sebesar 35 persen. Dari angka awal dikenal publik sebesar 12-14 persen. Padahal Rizal membutuhkan sedikitnya angka 90 persen untuk memantapkan langkah ke depannya.
"Itu butuh waktu 7-9 bulan," tandas Rizal. Dalam survei, Rizal memang diterima dengan baik oleh kalangan terpelajar. Hanya saja, menurut Rizal, jumlah kaum terpelajar masih terlalu kecil dan justru makin kecil dari waktu ke waktu. Meski demikian, Rizal mengatakan siap mencoba lagi dalam pemilu berikutnya. (LIN)
Sumber: kompas.com

Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam

PENGALAMAN paling berharga dari proses pemilu 5 April dan 5 Juli 2004 lalu adalah pemahaman akan realitas politik Indonesia, betapa kuatnya sikap pragmatisme para petinggi parpol, tidak terkecuali parpol yang mengusung bendera, simbol, dan idiom-idiom Islam. Pragmatisme ini ditandai kultur dalam pembuatan keputusan politik yang selalu dilandasi oleh pertimbangan posisi atau konsesi kekuasaan yang akan dicapai. Lebih dari itu malah hitung-hitungan materi barupa uang atau barang-barang. Hal ini terjadi, baik pada tindakan individu maupun institusi.
Penilaian secara institusi di-suarakan hampir oleh semua tim sukses capres dan cawapres, yang menyatakan bahwa mesin parpol saat pemilu capres-cawapres 5 Juli 2004 tidak jalan. Sepertinya ada sikap institusi yang kurang peduli terhadap capresnya. Hakikatnya hal ini lebih disebabkan para pe-tinggi partai yang sudah merasa aman berhasil menduduki kursi legislatif. Tim sukses capres-cawapres rupanya mencium suasana jiwa caleg terpilih ini. Mereka yang sudah lolos pemilu 5 April tidak peduli terhadap pemilu capres-cawapres lantaran calon terpilih legislatif merasa nasibnya sudah aman untuk duduk di kursi DPR/DPRD. Pada tingkat individu banyak disuarakan oleh para kandidat legislatif seolah mereka berjuang sendirian saja untuk mengumpulkan suara dalam rangka meraih kursi legislatif.
Mereka beranggapan bahwa penentuan nomor urut lebih ditentukan kelihaian lobi dan jumlah duit daripada dedikasi aktivis terhadap parpolnya. Karena itu saat terpilih, mereka merasa bahwa kemenangannya adalah merupakan jerih payahnya sendiri dalam mengumpulkan suara pemilih. Dalam hal ini, caleg yang tidak terpilih dianggap tim sukses masa bodoh terhadap kerja tim sukses. Diasumsikan, mereka merasa habis arang besi binasa, dana dan tenaga sudah dikuras untuk memenangkan kursi legislatif, tapi yang tersisa adalah capek dan utang bekas biaya kampanye. Sungguh tidak sederhana memanaj partai politik, walaupun kuncinya sama-sama mereka ketahui dan pahami yakni keterbukaan atau transparansi dalam mengelola partai.
Pragmatisme yang sifatnya personal sebagaimana dikemukakan di atas, juga merasuk pada parpol sebagai institusi. Kekuasaan sebagai target yang harus dicapai oleh parpol dijadikan sasaran utama tanpa peduli terhadap ideologi, norma dan malah etika. Kisah tentang keputusan musyawarah parpol yang berasaskan Islam meng- giring ketua parpolnya untuk jadi "penunggu lamaran", dan taat asas untuk terus menerus menunggu lamaran dicawapreskan, menunjukkan betapa harga diri pimpinan parpol (dan kemudian membawa jatuh martabat parpolnya) sudah demikian rendah di hadapan pemain politik.
Bayangkan sejak menunggu lamaran dari capres sasaran pertama, ditunggu dan ditunggu tapi tidak melamar saja, kemudian menunggu lamaran capres sasaran kedua, ditunggu tapi tidak ada juga, dan kemudian menunggu lagi lamaran dari capres sasaran ketiga, namun akhirnya tidak melamar juga. Dan kemudian beringsut maju untuk menjadi capres, dan hasilnya jeblok sekali.
Pragmatisme juga terdapat dalam mengemukakan ajaran agama. Hal ini terajdi berkenaan dengan keabsahan perempuan jadi presiden. Item ini dipertentangkan secara terbuka di hadapan umat dari suatu komunitas kultur keberagamaan yang sama. Hal ini diperparah dengan silat lidah untuk mendukung seseorang dan menghujat yang lainnya atas nama organisasi keagamaan terhadap person-person tertentu yang berasal dari komunitas yang sama juga.
Apa arti semuanya ini? Sementara saya berpendapat bahwa hal ini semua menunjukkan bahwa ternyata banyak terminologi agama dipakai hanya untuk tujuan-tujuan mencapai kekuasaan semata. Pada sisi lain, lantaran ternyata membawa bendera agama tersebut berujung pada kekalahan, maka sebaiknya dipikirkan, masih relevankah membawa bendera agama ke dalam kegiatan politik? Bila melihat hasilnya, sepertinya umat ini sudah tidak tertarik lagi oleh partai yang membawa bendera agama.
Namun jangan disimpulkan bahwa umat tidak mau berpolitik dengan jiwa keagamaan. Saya menduga umat justru sangat mengharapkan pemimpin politik yang agamis. Namun sebagaimana dikemukakan gambarannya di atas, umat agak kurang percaya terhadap para pemimpin politiknya. Berdasarkan realitas kepercayaan umat terhadap para pemimpin politiknya, saya khawatir, jangan-jangan teriakan ingin menegakkan syariat Islam, hanyalah merupakan "merek dagang" supaya lapisan masyarakat tertentu membeli atau tetap terikat pada merek jualan politik tersebut.
Artinya, parpol tersebut bukan sungguh-sungguh ingin memperjuangkan syariat. Sebab kenyataannya kalau dahulu atas nama syariat Islam mengharamkan perempuan jadi presiden, namun saat ada kesempatan jadi wakil presiden untuk bersanding dengan yang diharamkan tersebut, dia enjoy saja.
Bendera Islam
Dalam suasana parpol (termasuk ke dalamnya partai yang berasaskan Islam dan dengan lantang menyuarakan tegaknya syariat Islam) begitu tergila-gila rebutan kekuasaan, saya melihat perlunya reformulasi posisi agama dalam dunia kepartaian. Sepanjang belum ada kesepakatan para ulama, para ustaz, dan para kiai tentang hal-hal yang fundamental dalam kegiatan politik, apa tidak sebaiknya parpol-parpol tersebut menghentikan menjadikan Islam sebagai merk politik? Ungkapan "isyhaduu biannaa muslimun" (Q.S. 3:64) tidak harus diterjemahkan formalisasi asas partai dengan term Islam, tapi diterjemahkan sebagai tauhidullah yakni ideologi, prinsip, konsep, serta perilaku aktivis partai berjiwa Islam. Artinya tanpa label Islam pun manakala ideologi sampai perilakunya berwarna Islam, hal itu sudah memenuhi ketentuan ayat tersebut (baca phrase sebelumnya).
Masih relevankah Islam dijadikan merek dagang bagi parpol-parpol untuk meraih keuntungan dalam bentuk kekuasaan? Mana yang lebih baik bermerek Islam, tapi tidak punya fatsoen Islam atau tidak memakai merek Islam, tapi berideologi dan berperilaku Islami? Oke, yang ideal adalah bermerek Islam dan berjiwa Islam. Namun adakah itu? Jawabannya ada, dan itu adalah PKS? Betulkah? Tatkala Hidayat Nurwahid Presiden PKS selalu menyuarakan kepedulian terhadap masyarakat miskin, bangsa tertindas, serta keharusan memberantas KKN, dan malah dengan lantang tidak akan berpihak kepada PDIP dengan berbagai argumen sosial politik yang berjubah keagamaan, umat penuh harap inilah partai harapan umat masa depan. Beginilah seharusnya partai berasas Islam, demikian sanjungan umat.
Namun tatkala partai berasas Islam ini harus dihadapkan kepada pilihan Amin Rais atau Wiranto dalam pilpres putaran pertama, umat pun bingung menanti putusan PKS. Keputusan dijatuhkan saat injury time, saat air sungai tenaga umat ini sudah dialirkan ke berbagai arah oleh pemain-pemain tingkat bawah (atau juga malah di tingkat atas?). Menurut Bahtiar Effendi, keterbelahan itu disebabkan "semua keputusan yang dihasilkan punya hitung-hitungan sendiri, baik secara kultural maupun politik". Jadi yang dipertimbangkan bukan sejarah dan catatan keberhasilan perjuangan ideologi keagamaan, atau upaya membela umat yang selama ini justru dilakukannya, tapi hitung-hitungan kekuasaan juga, dan itu terjadi pada saat-saat yang sangat kritis.
Pada sisi lain, kita pun dapat melihat dengan mata telanjang tontonan pentas politik Indonesia ini, bahwa yang menjadi pertimbangan dasar bersatu dan bercerainya kekuatan-kekuatan politik, koalisi atau beroposisinya suatu kekuatan partai ternyata selain pembagian kekuasaan, ada yang lebih parah lagi yakni materi, baik dalam bentuk uang maupun barang. Mudah-mudahan bukan suu' dzan, jangan-jangan perubahan sikap PKS yang tadinya mau beroposisi kemudian berkoalisi dengan pemerintahan yang akan datang, juga didasari hitung-hitungan kursi itu.
Subjektivikasi-objektivikasi
Bila dimungkinkan bendera Islam dilepas dari formalitas merk partai, bagaimana mungkin orang Islam mau memperjuangkan politik Islam? Sesungguhnya pertanyaan demikian tidak perlu ada manakala para pejuang partai tersebut sudah berislam dengan baik. Dengan keislaman yang baik, maka apa pun yang direnungkan, dipikirkan, dirancangkan, diperbuat, dan dijadikan tolok ukur rujukan, pasti ajaran Islam. Pada dataran konsep, kebenaran ajaran Islam itu bersifat perspektif (menjangkau masa depan sampai negeri akhirat), universal, dan inklusif. Karena itu dapat memberikan rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan linnasi ajma'iin).
Sementara pada dataran praksis, ukuran utamanya anfa'uhum linnaas dengan instrumennya akal manusia yang produknya berupa iptek. Dengan demikian sifatnya situasional dan kondisional. Walau demikian, lantaran sifat konsepnya universal dan inklusif, karakter situasional dan kondisional tersebut tidak akan jatuh pada pragmatisme naif yang hanya mengejar keuntungan kini di sini saja.
Metode yang cukup efisien, tapi sangat efektif bagi artikulasi keislaman yang inklusif ini menurut hemat saya adalah melalui apa yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan subjektivikasi dan objektivikasi. Agama sebaiknya disubjektivikasi untuk kemudian diobjektivikasi dalam dataran sosial, ketimbang dijadikan merk dagang politik yang manakala tidak dibarengi konsistensi para pemimpinnya, ujung-ujungnya nama agama itu ternodai oleh perilaku para pimpinan parpol berasas agama tersebut. Dengan subjektivikasi akan diperoleh keislaman yang substantif, sementara dengan objektivikasi akan diperoleh keserasian dan kecocokan dengan tempat di mana kaum Muslimin berada. Saya melihat metode ini akan meng-eliminasi penghamburan tenaga berkenaan dengan perjuangan formalisasi. Pernyataan ini tidak berarti bahwa formalitas tidak penting. Formalitas tetap penting, namun bukan merupakan tujuan utama perjuangan partai. Tujuan perjuangan partai adalah mengartikulasikan secara praksis substansi ajaran Islam, yang manakala hal itu tercapai akan dengan sendirinya memiliki langkah lanjutan (nurturant effect) terhadap formalisasi.

Mengharap Partai Politik Sejati

Sekira 27 partai politik sudah mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia September lalu. Partai yang sudah mendaftarkan diri itu, rata-rata partai baru, jadi bila ditambah dengan partai lama dan partai baru lainnya yang belum mendaftar jumlahnya akan jadi sangat banyak.
Bila kita perhatikan, jumlah peserta pemilu di Indonesia selalu mengalami perubahan. Pada pemilu pertama 1955, Indonesia menganut sistem multipartai. Kemudian menjadi hanya tiga partai sejak pemilu ketiga. Pada pemilu pertama setelah kejatuhan Presiden Soeharto, jumlah pesertanya melonjak jadi 48. Dan pada pemilu yang lalu, jumlah peserta menciut jadi 24 partai. Jumlah partai politik peserta pemilu memang mengalami pasang surut, namun ternyata banyak ataupun sedikitnya jumlah partai tidak membawa perubahan yang signifikan di tengah-tengah masyarakat.
Letak permasalahannya mungkin bukan pada jumlah partai, tetapi sampai saat ini masih belum ada partai politik sejati yang menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi-fungsi itu di antaranya yaitu: fungsi agregasi (penggumpalan ide atau gagasan yang berkembang di tengah masyarakat), fungsi edukasi (pendidikan politik rakyat), fungsi artikulasi (penyampaian aspirasi rakyat), dan fungsi rekrutmen (Sigmund Neumann, 1981). Fungsi terakhir ini bertujuan untuk representasi (perwakilan) kemudian melahirkan kegiatan legislasi (pembuatan hukum).
Tiga fungsi parpol yang pertama, terutama fungsi edukasi, adalah fungsi yang sangat penting bagi masyarakat. Akan tetapi, justru fungsi tersebut yang selama ini terabaikan. Sampai saat ini partai politik yang ada hanya terfokus pada fungsi yang terakhir saja. Untuk itu, seringkali demi meraup banyak kursi di parlemen, partai politik meraup suara dengan menggunakan figuritas seseorang, kejayaan tokoh masa lampau, artis yang sedang ngetop, bahkan mungkin paranormal, langkah-langkah yang tidak mendidik masyarakat. Bila hal ini terus berlanjut, tidak akan ada perubahan yang signifikan pada negeri ini karena partai politik hanya dijadikan sebagai jalan untuk duduk di parlemen bukan jalan untuk sarana edukasi masyarakat.
Sudah saatnya lahir partai politik yang berani mengedepankan visi misinya bukan figuritas perseorangan, berani mendidik masyarakat sesuai dengan ideologi partai, bahkan berani untuk tidak menjadikan pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk perubahan masyarakat. Sudah saatnya partai politik bertujuan menumbuhkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat. Sebab apabila masyarakat telah cerdas politik, kelak mereka tidak akan terpengaruh oleh janji-janji kosong atau nama besar yang dicatut untuk memenangkan partai.
Dengan adanya kesadaran politik, masyarakat pun akan memahami arti penting diterapkan aturan tertentu untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Masyarakat akan menjadi peka terhadap setiap pelanggaran yang terjadi dan masyarakat akan cepat merespons ketidakadilan yang ada di tengah-tengah mereka. Adakah partai politik sejati dari kedua puluh tujuh partai politik yang telah mendaftarkan diri itu? Kita lihat saja.

Partai Politik Terjebak Pragmatisme Sempit

Partai politik sejatinya sebagai tempat melahirkan kader-kader pemimpin berkualitas yang diharapkan dapat menjadi pemimpin bangsa yang baik pada skala lokal maupun nasional, demikian pernyataan Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa. Namun pada kenyataannya menurut A.M. Fatwa, partai politik belum mampu memunculkan kader terbaiknya terbukti dalam pemilihan kepala daerah justru yang banyak muncul adalah orang yang bukan dari partai politik dan ironisnya mereka justru ramai-ramai diusung oleh partai politik.
Kenyataan tersebut menurut A.M. Fatwa karena partai politik terjebak pada pragmatisme sempit pada siapa yang bisa memberikan dana yang lebih besar dan konsesi politik itulah yang didukung. Meskipun sesungguhnya partai politik tersebut memiliki kader sendiri yang berkualitas hanya dengan alasan “partai kita butuh duit”, sehingga tidak diusung karena tidak punya uang banyak.
Era Reformasi justru menimbulkan ketumpulan idealisme dalam diri partai politik. “Bahwa partai politik butuh dana banyak adalah benar, namun tidak berarti mengorbankan prinsip moralitas dan idealisme”, ujar A.M. Fatwa. Pilkada DKI Jakarta adalah contoh betapa kepentingan pragmatis partai terlihat nyata dalam tarik menarik dukungan, bahkan sulit menentukan pilihan karena terlilit oleh pragmatisme itu sendiri. Sistem partai dan konsolidasi partai tidak jalan seperti yang diharapkan, putusan dan pilihan hanya ditetapkan segelintir elit politik yang memiliki “kekuasaan”.
Kedepan menurut A.M. Fatwa bangsa kita memerlukan pendewasaan partai politik yang berkiprah secara berkeadaban, bermartabat dan terhormat agar mampu memunculkan pemimpin yang tercerahkan yang membela dan melayani kepentingan rakyat banyak dan tidak terjebak pada pragmatisme sempit menjadikan politik dan partai politik sebagai sarana mencari uang kepentingan kelompoknya sendiri.